Kitab apa sebenarnya Mahfuzhat itu? Mari kita kupas satu per satu dari berbagai sisi buku yang begitu legendaris di kalangan pesantren ini ….
Disebut Mahfuzhat (kalimat-kalimat yang dihafal atau hafalan) karena kalimat-kalimat ini awalnya memang diajarkan di kalangan dunia pesantren guna mengajarkan tatanan, gaya bahasa, dan susunan-susunan kalimat (uslub) yang indah kepada para santri seraya memberikan asupan yang bermutu untuk jiwa-jiwa mereka.
Hampir setiap pagi dan malam, para santri di dunia pesantren seakan “dipaksa” untuk berteriak-teriak menghafal bait demi bait dalam Mahfuzhat ini. Tentu saja, targetnya bukan untuk memahami maknanya secara mendalam karena waktu itu tugas utamanya hanya menghafal. Namun yang aneh, setelah hafal dan paham artinya, kalimat-kalimat dalam Mahfuzhat ini seolah menyuntikkan energi sendiri yang luar biasa.
Proses menghafal yang sebelumnya terasa seperti siksaan dan pemaksaan, menjadi semacam proses afirmasi diri yang positif sehingga menimbulkan energi yang sangat besar pengaruhnya bagi siapa pun yang membaca dan menghafal Mahfuzhat.
Salah satu contoh kalimat yang sampai sekarang masih tetap menarik soal totalitas dan keberanian adalah mutiara kata dari Thariq bin Ziyad, seorang jenderal pada zaman Dinasti Umayyah yang memimpin penaklukan muslim atas wilayah Andalusia (Spanyol, Portugal, Andorra, Gibraltar, dan sekitarnya) pada tahun 711 M.
Untuk memompa dan memotivasi pasukannya, setelah membakar kapal-kapal perangnya sendiri, ia secara lantang berkata, “Al-bahru warâkum wal ‘aduwwu amâmakum, ainal mafar?” (Laut di belakang kalian, musuh di depan kalian. Mau ke mana kalian pergi?” Tak ada jalan lain selain bertempur habis-habisan.
Satu lagi untaian kata dalam Mahfuzhat yang sekarang sudah cukup populer adalah kalimat, “Man jadda wajada,” yang berarti barang siapa bersungguh-sungguh pasti berhasil. Untaian kata ini bisa dikatakan Mahfuzhat pertama yang diterima oleh setiap santri di pesantren dan sampai sekarang masih terus terngiang. Selain rimanya yang bagus dan enak didengar, maknanya pun sangat mudah dipahami.
Selain itu, masih banyak lagi kalimat-kalimat mutiara yang dapat Anda temukan dalam kitab Mahfuzhat ini, seperti man sâra ala ad-darbi washala (barang siapa berjalan pada jalurnya maka ia akan sampai) atau idza shadaqa al-azmu wadhaha as-sabîlu (bila ada kemauan yang kuat, pasti ada jalan).
Dahsyat dan luar biasa! Itulah kesan pertama terhadap peribahasa dan mutiara-mutiara kata dalam bahasa Arab yang disebut dengan Mahfuzhat ini. Namun, yang lebih dahsyat dan luar biasa lagi adalah para perangkai dan perangkumnya hingga sampai ke tangan umat Islam zaman sekarang dalam bentuk sebuah paket siap santap.
Bagaimana tidak, kalimat ini diambil dari ucapan banyak tokoh yang hidup di zaman yang berbeda-beda dengan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda pula. Ada yang berasal dari ucapan seorang miskin papa yang tetap bahagia. Ada yang berasal dari ucapan seorang raja yang hidup bergelimang kuasa dan harta, tetapi tetap bijaksana. Ada yang berasal dari seorang kiai ternama yang senantiasa hidup bersahaja. Ada yang berasal dari seorang pejabat negara yang tetap berwibawa meski sudah tidak bertakhta. Ada juga yang berasal dari seorang pemuda ksatria yang berhasil menaklukkan dunia dengan tetap berpegang pada ajaran agama.
Kalimat-Kalimat Luhur Bersastra
Kalimat-kalimat hikmah bernuansa sastra yang dihimpun dalam buku Mahfuzhat ini berasal dari perkataan-perkataan mulia para tokoh terkemuka zaman dulu. Tentu saja ini bukan sembarang diucapkan, tetapi lahir dan terucap dari hasil refleksi dan reaksi mereka dari berbagai macam pengalaman, kejadian, peristiwa, dan pengamatan hidup.
Boleh dikatakan, Mahfuzhat adalah hasil kreatif pengolahan kata, rasa, jiwa, dan makna. Di sini, yang perlu digarisbawahi agak tebal adalah bahwa kedahsyatan susunan dan gaya bahasa kalimat-kalimat berbahasa Arab ini lahir dari sebuah keterbatasan. Sebagaimana kita ketahui, dalam ajaran Islam ditemukan banyak aturan yang mungkin dipandang sebagai pengganjal dan penghalang kebebasan berekspresi. Sebagai contoh, hukum haram mengekspresikan rasa cinta kepada seseorang dengan tindakan mencium atau meremas tangannya—karena bukan mahramnya.
Ternyata, di balik keterbatasan itulah muncul kreativitas. Salah satunya dengan mengolah kata-kata hingga bisa memunculkan seribu makna yang bisa mengalahkan seribu ciuman atau sejuta remasan tangan. Kalimat-kalimat dalam Mahfuzhat ini membuktikan hal itu. Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan bila maknanya pun bisa sangat mendalam dan menyentuh sanubari universal setiap manusia.
Yang terkandung dalam kalimat-kalimat Mahfuzhat adalah hal-hal universal yang positif dan pasti disukai setiap manusia, apa pun dan siapa pun dia. Di balik universalitas maknanya, yang menakjubkan adalah ajaran bahwa suatu kebaikan tidak harus diajarkan dengan paksaan. Nilai-nilai kebaikan dan kebajikan itu pada hakikatnya adalah makanan-makanan yang pasti dibutuhkan oleh setiap manusia, termasuk oleh orang-orang seperti Machiavelli atau Hitler sekalipun.
Namun demikian, seiring perkembangan zaman, sebagai makanan pokok, ajaran-ajaran dan nilai-nilai dalam Mahfuzhat ini kiranya perlu disampaikan secara kreatif sesuai zamannya, bukan dengan dipaksakan dengan ancaman dan sanksi hukuman. Betapa pun, manusia adalah makhluk pemilih yang berakal. Nuraninya pasti memilih yang terbaik dan terbagus. Namun, jika pilihan yang baik itu disuguhkan dengan tidak baik, maka kemungkinan pilihan itu justru tidak akan dipilih.
Demikianlah. Mahfuzhat ini adalah salah satu media untuk menyampaikan, menanamkan, dan mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keagungan sang Pencipta. Membaca, menghayati, dan bila perlu menghafalnya adalah sesuatu yang tidak akan pernah ada ruginya. Apalagi bagi orang-orang yang ingin maju dan terus berkembang. Jadi, tunggu apa lagi? Silakan menikmati hidangan kami ini.
Untuk pemesanan buku ini, silahkan email ke
ibnu.rasheedi@gmail.com
ibnu.rasheedi@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar